Anjing Dan Pribumi Dilarang Masuk – (sekarang gedung Sekretariat Negara Republik Indonesia), pastinya menjadi tempat untuk dilihat oleh semua orang di Indonesia setidaknya sekali. Bangunan yang kini telah dibongkar ini dulunya merupakan tempat kesenangan yang hanya dimasuki dan dinikmati oleh orang kulit putih. Gambaran ketimpangan yang menyamakan status masyarakat adat dengan hewan ini, mampu menyebabkan lahirnya semangat yang menghapus penindasan dan ketidakadilan yang telah menindas selama ratusan tahun, bahkan juga menjadi motivasi bagi seorang pemuda yang lewat di hadapannya. rumah pada awal tahun 1950-an, Adnan Buyung Nasution berbicara menentang ketidakadilan dan penindasan baru yang dialami negaranya.
Sejak merdeka, Indonesia mengulangi kalimat dalam konstitusinya yang masih diamalkan hingga saat ini, yaitu bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dalam segala aspek kehidupan masyarakat, hukum menempati tempat tertinggi dan harus selalu ditaati dan ditaati. Kemudian semua buku pengantar mahasiswa baru hukum selalu memperjelas bahwa tujuan hukum itu sendiri adalah pasti, adil dan bermanfaat. Namun ketiga tujuan tersebut, yang kemudian menjadi jelas, belum jelas sakral karena kita masih bingung apakah pasar hukum itu mengikat, keputusan pengadilan dan kekuasaan yang kuat, serta prosedur penegakan hukum. manfaat bagi masyarakat?
Anjing Dan Pribumi Dilarang Masuk
Adnan Buyung Nasution, yang saat itu berprofesi sebagai pengacara dan biasa duduk di pinggiran kota Jakarta, juga menghadapi kebingungan yang sama. Pengadilan di Tambun, Pasar Ming, dan pinggiran Jakarta pada masa itu sering diwarnai dengan kasus-kasus kecil seperti pencurian makanan, pencurian ayam, dan pencurian pakaian, yang menimpa dan menganiaya anak di bawah umur. Begitu tuduhan, pembelaan, dan putusan dibacakan oleh para pengacara dan hakim, banyak dari orang-orang malang ini hanya tertunduk tak percaya, tidak benar-benar memahami apa yang mereka baca, mengira mereka terlalu bodoh untuk mengetahuinya, dan diri mereka sendiri terpuruk. nasib mereka, mengangguk dan berkata, “Ini tergantung Yang Mulia.”
Broken Home, Bundir
Nampaknya walaupun kolonialisme asing telah meninggalkan Indonesia dalam kemiskinan, nyatanya hal-hal yang melekat pada kolonialisme, penindasan dan penindasan, belum benar-benar hilang, bahkan meresap ke dalam perilaku baru sistem dan kekuasaan yang kini muncul. Dalam suatu sistem sosial, selalu ada yang memilikinya dan ada yang tidak. Mereka yang lahir dengan titik awal di bawah masyarakat tentu mempunyai peluang untuk tidak bahagia sepanjang hidupnya. Kemudian mereka akan terus menjadi korban dari sistem yang ada, seperti hukum, sosial, ekonomi dan politik, karena buruknya kondisi ekonomi, budaya, pendidikan dan faktor-faktor yang menjadi cikal bakalnya datang dan mengikuti mereka sejak awal kehidupan mereka. . kehidupan
Bermula dari kekesalannya terhadap semakin meluasnya ketimpangan dalam sistem hukum kita, Adnan Buyung Nasution yang berhenti menjadi jaksa dan kemudian bergabung dengan Persatuan Pengacara Indonesia (Peradyn) mulai merumuskan rencananya untuk mendirikan Pusat Bantuan Hukum (LBH) di Tahun 1969. Ide tersebut terwujud dengan lahirnya LBH Jakarta pada tahun 1970 yang didukung penuh oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta di bawah Gubernur Ali Sadikin. Belakangan terungkap, Ali Sadikin juga menggunakan uang sakunya sendiri untuk mendukung LBH Jakarta, meski kelompok induk LBH Jakarta kerap mengkritik kepemimpinannya.
Tak lama setelah lahirnya LBH Jakarta, terjadilah kasus perceraian di Simprug, Kebayoran. Komunitas yang berpenduduk sekitar 700 orang ini ingin memaksa keluar untuk membangun bangunan tempat tinggal populer. Adnan Buyung Nasution dan Abdul Rahman Saleh, pengacara generasi pertama di LBH Jakarta, juga membantu warga tersebut melalui berbagai cara. Berbeda dengan pengacara yang selalu berpakaian rapi, merupakan bagian dari elit dan hanya berbicara dan menulis pembelaan di pengadilan, kedua pengacara ini turun langsung untuk memastikan pemahaman dan mengorganisir masyarakat yang terkena dampak untuk bernegosiasi dengan pemerintah, memenuhi celana, sepatu bot, dan kebaikan mereka. . berbagai tindakan “beragam” serta pernyataan penting yang mereka sampaikan di media.
Pengamanan ala Simprug ini tentunya terus menjadi ciri pengamanan yang dijalankan LBH Jakarta. Abdul Rahman Saleh yang menjadi Jaksa Agung juga menjelaskan, kasus yang ditangani LBH Jakarta merupakan kasus institusional, seperti bantuan aktivis yang ditangkap sewenang-wenang oleh Kopkamtib, ganti kelamin pertama di Indonesia, turut mengkriminalisasi OSIS atas sekolah yang berbeda-beda di Indonesia dan masih banyak permasalahan lainnya yang memerlukan perlindungan dengan cara yang berbeda-beda. Adnan Buyung Nasution juga menjelaskan, pendekatan seperti pengorganisasian, mobilisasi, dan demonstrasi digunakan untuk memperkuat kelompok masyarakat yang lemah dan tidak setara dalam status hukum.
Sinyo Sinyo Rasis Hindia Belanda
Penemuan Adnan Buyung Nasution pada tahun 1976 di Belanda menyadarkan kita akan konsep baru bantuan hukum. Usai diminta memberikan sambutan oleh Novib, perusahaan donor di Belanda yang juga bersimpati dengan perjuangan LBH Jakarta, Adnan Buyung Nasution pun bertemu dengan Prof. Paul Moedikdo, sosiolog dan kriminolog, pendiri Institut Kriminologi Universitas Indonesia yang tinggal di Belanda. Saat berdiskusi, Paul Moedikdo juga menyampaikan bahwa LBH Jakarta bergerak di bidang Bantuan Hukum Terstruktur (BHS). Walaupun LBH Jakarta tidak dikenal atau disebut BHS, namun nyatanya jika dilihat dari teori organisasi yang berkembang pesat di Eropa saat itu, berbagai metode yang digunakan LBH Jakarta adalah BHS.
Teori strukturalisme sebenarnya berasal dari gagasan ahli bahasa Ferdinand de Saussure, dan kemudian diwarnai dengan masuknya gagasan Karl Marx, Michel Foucault, Sigmund Freud, dan banyak psikolog lainnya. Singkatnya, teori ini meyakini bahwa berbagai realitas yang ada dan terlihat, tercipta dari suatu sistem yang tidak selalu terlihat, melainkan ada dalam masyarakat. Hingga saat ini, para pekerja selalu dirugikan oleh sistem ekonomi akumulasi modal yang hanya berfokus pada pertumbuhan modal dan keuntungan tanpa memperhatikan kesejahteraan pekerja. Hingga saat ini, dapat dikatakan bahwa banyak permasalahan yang dihadapi perempuan muncul karena norma-norma hukum, budaya, dan sosial yang selalu menjadikan mereka tidak suci.
Jika ditilik dari kondisi saat itu, pemerkosaan paksa yang sering terjadi di Jakarta dan sekitarnya bisa saja terjadi karena sistem perekonomian pemerintah yang dibiarkan berpolitik dan menguntungkan mereka yang berada di ibu kota. Sistem politik pemerintahan yang berlanjut melalui Kebijakan Baru pada masa itu juga menyaksikan fakta-fakta buruk, seperti pembatasan kebebasan berpendapat, penggunaan hukum untuk mempertahankan kekuasaan, dan berbagai penyimpangan yang tidak menghormati hak asasi manusia dan metode demokrasi lain. Oleh karena itu, dalam menyikapi permasalahan tersebut, perlu dilakukan berbagai cara non-tradisional untuk menyerang kegigihan para penindas. Aspek yuridis dalam hukum yang merupakan cara penyelesaian permasalahan yang “legal” menurut negara, memang bisa menjadi salah satu cara, namun bukan satu-satunya.
Sejarah juga menunjukkan bahwa dalam perkembangannya pada masa Orde Baru, LBH Jakarta pernah mempunyai dua departemen, yaitu Departemen Kehakiman dan Departemen Keberlanjutan. Cabang yudikatif terdiri dari para profesional hukum yang berupaya menyelesaikan masalah melalui litigasi di pengadilan, sedangkan cabang non-yudisial terdiri dari para manajer yang menggunakan metode lain selain litigasi untuk menyelesaikan konflik atau masalah dalam masyarakat. Fauzi Abdullah dan Todung Mulya Lubis merupakan anggota Departemen Luar Hukum yang pendapatnya dapat dipelajari dan dipertimbangkan.
Pdf) Representasi Pribumi Dalam Film Bumi Manusia (kajian Semiotika Saussure)
Fauzi Abdullah adalah lulusan Bahasa Inggris dari Universitas Indonesia yang bergabung dengan staf Departemen non-yudisial di LBH Jakarta pada tahun 1978 sebagai asisten pengajar di kampusnya. Pada tahun 1980, ia mulai menggeluti permasalahan ketenagakerjaan, saat ia mengenal karyawan PT Textra. Saat itu, ia hampir setiap hari mengunjungi rumah para pekerja untuk berdiskusi guna mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam di kalangan pekerja tentang kesulitan yang mereka alami. Setelah berdiskusi dan pelatihan dua arah, para pekerja bergandengan tangan, berkumpul, dan mulai mogok untuk menyampaikan pandangan mereka. Fauzi Abdullah juga terjun langsung ke Rankamaya, Jawa Barat untuk berdiskusi dan membentuk kelompok dengan para petani yang lahannya diambil untuk pembangunan lapangan golf, dimana setelah dewan petani maju, pihak kehakiman juga ikut serta menyelesaikan permasalahan tersebut. sudah demikian
Pendidikan hukum informal Fawzi Abdullah terhadap masyarakat terdampak memiliki ciri-ciri penting seperti penggunaan metode komunikasi untuk menemukan akar permasalahan yang ada dan tidak adanya peran guru dan siswa dalam pendidikan yang menurut penulis telah dipahami secara bertahap. , yang terkait dengan gagasan Paulo Freire dalam karyanya “Education of Scales”. Todung Mulya Lubis dalam bukunya Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural dengan tegas menyatakan bahwa penyelesaian permasalahan sosial tidak dapat diselesaikan dengan cara hukum saja, tetapi gerakan sosial harus mempunyai cara yang berbeda. Hal-hal tersebut dapat didukung oleh LBH Jakarta saat ini yang memiliki banyak departemen pendukung kelancaran operasional BHS, seperti Departemen Promosi, Departemen Asosiasi, Departemen Penelitian, Departemen Pengolahan Perkara dan masih banyak fasilitas lainnya.
Di tengah pembaruan politik otoriter, serta semakin merosotnya hak asasi manusia dan demokrasi, banyak elemen kunci BHS yang juga berperan dalam mengatasi berbagai tantangan sosial. BHS yang tidak hanya berfokus pada kemenangan di muka pengadilan saja, namun juga pada penguatan masyarakat serta membangun nilai-nilai HAM dan demokrasi, juga dapat terlaksana karena menggunakan tujuan yang juga bermanfaat, yaitu eksistensi suku-suku tertindas. di masyarakat. Namun pendekatan-pendekatan di BHS yang mampu menghadirkan solusi komprehensif dan juga diterapkan oleh LBH Jakarta tentunya harus disesuaikan dengan kondisi energi terbarukan di Indonesia.
Pemahaman BHS pada masa Orde Baru tentu lebih mudah karena kita bisa menelusuri berbagai ciri yang ada pada masa itu, seperti sistem ekonomi yang sangat timpang, sistem politik yang demokratis, dan menurunnya banyak ciri lainnya. yaitu kekuasaan para pemimpin Orde Baru yang mempertahankan kekuasaan melalui penguasaan seluruh institusi di masyarakat sehingga para pekerja BHS mempunyai musuh yang sama dan mudah diidentifikasi,