Pengenalan Dua Pola Sosialisasi Menurut Gertrude Jaeger
Sosialisasi adalah proses pembelajaran budaya dan nilai-nilai masyarakat yang dilakukan melalui interaksi sosial antara individu dengan individu lainnya. Dalam ilmu sosiologi, sosialisasi dianggap sebagai salah satu faktor penting yang memengaruhi pembentukan kepribadian seseorang dan membentuk identitas sosial individu. Gertrude Jaeger, seorang sosiolog asal Jerman, mengidentifikasi dua pola sosialisasi dalam masyarakat modern yang berbeda, yaitu pola sosialisasi tradisional dan pola sosialisasi modern.
Pola Sosialisasi Tradisional
Pola sosialisasi tradisional yang dideskripsikan oleh Gertrude Jaeger merujuk pada cara individu dijejali nilai-nilai dan norma-norma tradisional sejak lahir, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pola ini melibatkan sejumlah besar keluarga yang memainkan peran penting sebagai agen sosialisasi, dan membentuk kepribadian anak-anak dengan cara yang sangat memengaruhi perilaku mereka di masa depan.
Dalam pola sosialisasi tradisional, individu dilatih untuk menghargai kesetiaan kepada keluarga dan leluhur mereka, serta menghormati otoritas, kepercayaan, dan tradisi yang ada. Pendidikan formal juga menjadi elemen penting dalam pola sosialisasi tradisional, di mana anak-anak diperkenalkan dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial dalam konteks pendidikan formal seperti sekolah atau agama.
Meskipun pola sosialisasi tradisional menegaskan pentingnya kesetiaan kepada keluarga dan leluhur, namun pola sosialisasi ini juga dapat membatasi kemampuan individu untuk mengembangkan kepribadian yang unik dan orisinal. Hal ini dikarenakan norma dan nilai-nilai tradisional dipandang sebagai pedoman yang memang harus diikuti, yang mengakibatkan individu kurang mampu untuk “berpikir di luar kotak” dan menciptakan hal-hal baru.
Pola Sosialisasi Modern
Pola sosialisasi modern adalah pola sosialisasi yang terjadi dalam lingkungan masyarakat modern, di mana nilai-nilai dan norma-norma yang dianut cenderung lebih individualis dan tidak bersifat tradisional. Pola ini juga dikenal sebagai pola sosialisasi yang terbuka karena mengizinkan individu untuk mengembangkan kepribadian mereka secara bebas tanpa terikat oleh norma dan nilai-nilai tradisional.
Dalam pola sosialisasi modern, individu belajar untuk lebih menekankan pada kemandirian dan kebebasan pribadi dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Pendidikan formal juga menjadi elemen penting dalam pola sosialisasi modern, meskipun terdapat perbedaan dengan pola sosialisasi tradisional karena lebih fokus pada pembentukan wawasan dan pemahaman yang cakupannya luas.
Meskipun pola sosialisasi modern memberikan banyak kebebasan dalam hal pengembangan kepribadian individu, namun pola sosialisasi ini juga dapat membuat individu menjadi kurang peduli terhadap kepentingan kelompok atau masyarakat secara menyeluruh. Terkadang, individualisme yang berlebihan dapat menimbulkan kesan bahwa individu tersebut lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada kepentingan kelompok atau masyarakat yang lebih besar.
Kesimpulannya, pola sosialisasi tradisional dan modern memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal nilai-nilai dan norma yang dianut, baik dalam konteks keluarga maupun pendidikan formal. Kedua pola sosialisasi ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, bergantung pada tujuan dan lingkungan sosial individu yang terlibat. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk memahami bagaimana pola-pola sosialisasi ini berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian mereka, serta bagaimana mereka dapat beradaptasi dalam lingkungan sosial yang berbeda.
Pola Sosialisasi Primer Menurut Gertrude Jaeger
Gertrude Jaeger adalah seorang sosiolog dan antropolog Jerman yang mengembangkan teori tentang pola sosialisasi primer pada masa kecil. Menurutnya, pola sosialisasi primer dibentuk oleh orang tua dan lingkungan keluarga di mana seorang anak dibesarkan. Pola sosialisasi primer dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pola sosialisasi otoriter dan pola sosialisasi demokratis. Inilah penjelasan detail tentang dua pola sosialisasi menurut Gertrude Jaeger:
1. Pola Sosialisasi Otoriter
Pola sosialisasi otoriter biasanya diterapkan oleh orang tua yang memegang peranan dominan dalam keluarga dan cenderung memaksakan kehendaknya kepada anak. Orang tua dengan pola sosialisasi otoriter cenderung lebih mengutamakan kedisiplinan dan ketaatan daripada mengembangkan kepercayaan diri anak. Mereka lebih mengarahkan anak untuk berbicara sedikit dan melakukan apa yang diperintahkan. Hal ini membuat anak sulit mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan mengambil keputusan yang baik.
Anak dengan pola sosialisasi otoriter cenderung memiliki sikap yang pasif dan kurang percaya diri, mereka sulit mengambil inisiatif sendiri dan selalu berusaha untuk memenuhi harapan orang tua. Mereka cenderung punya pandangan hidup yang sempit karena cukup sering hidup dalam keterbatasan yang diberikan oleh orang tua mereka. Tingkat kebahagiaan anak pola sosialisasi otoriter juga cenderung lebih rendah daripada anak dengan pola sosialisasi demokratis. Sebagai orang tua, kita perlu menyadari bahwa pendekatan otoriter ini berpotensi merusak pembentukan pribadi anak dan pemikirannya.
2. Pola Sosialisasi Demokratis
Pola sosialisasi demokratis merupakan pendekatan yang lebih menyenangkan dan responsif terhadap kebutuhan anak. Si anak diberi kepercayaan untuk mengambil keputusan sendiri dan diberikan kesempatan untuk berbicara dan mengutarakan pendapatnya secara bebas. Orang tua dengan pola sosialisasi demokratis cenderung memberikan peraturan dan batasan yang jelas, tetapi juga memberikan pemahaman dan alasan di balik setiap aturan tersebut.
Anak dengan pola sosialisasi demokratis biasanya lebih mandiri, percaya diri, dan memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik. Mereka cenderung mengejar hal-hal yang mereka sukai dan merasa dihargai sebagai individu. Jika suatu saat anak menghadapi kesulitan dalam hidup, mereka biasanya mampu berbicara secara terbuka dan mencari solusi bersama dengan orang tua mereka. Orang tua dengan pola sosialisasi demokratis biasanya dikenal sebagai “orang tua yang baik” karena mereka tidak hanya mampu menghasilkan anak yang bahagia dan selalu siap belajar meningkatkan diri mereka dan memahami anak mereka dengan lebih baik lagi. Namun, di sisi lain, orang tua juga harus bisa membedakan antara menjadi “teman” dengan anak dan menjadi “orang tua” yang memberi aturan ketat.
Dalam kesimpulannya, pola sosialisasi primer yang diterapkan pada anak-anak sangatlah penting dan akan mempengaruhi sepanjang hidup mereka. Pola sosialisasi otoriter dan pola sosialisasi demokratis adalah dua dari pola sosialisasi primer menurut Gertrude Jaeger. Sebagai orang tua, sepantasnya kita memperhatikan pendidikan yang kita berikan pada anak agar kita dapat memaksimalkan potensi mereka dan membuat mereka merasa bahagia dan terhormat sebagai individu.
Pola Sosialisasi Sekunder Menurut Gertrude Jaeger
Sosialisasi adalah proses pembelajaran norma-norma sosial sebagai pengganti insting untuk bertindak sesuai dengan apa yang dianggap benar atau salah oleh masyarakat. Secara umum, sosialisasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Menurut Gertrude Jaeger, seorang sosiolog, pola sosialisasi sekunder dibagi menjadi dua kategori, yaitu sosialisasi horizontal dan vertikal.
Pola Sosialisasi Horizontal
Sosialisasi horizontal adalah proses pembelajaran norma-norma sosial yang dilakukan oleh individu dalam interaksi sosial dengan kelompok sebaya atau teman seumuran. Pada masa kanak-kanak, anak-anak berada dalam lingkungan keluarga dan sekolah. Seiring bertambahnya usia, anak-anak mulai mengeksplorasi lingkungan sosial di luar keluarga dan sekolah, yaitu dengan teman seumurannya. Berteman dengan mereka memungkinkan mereka untuk belajar bagaimana bergaul dengan orang lain, membangun hubungan baik dengan kelompok yang berbeda, serta menguasai aturan-aturan dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Sosialisasi horizontal dilakukan melalui interaksi sosial yang bersifat simetris. Artinya, individu mengalami pembelajaran secara timbal balik atau saling berbagi pengalaman dalam kelompok sebaya atau teman seumuran. Contohnya, ketika seorang anak memperlihatkan perilaku yang tidak sesuai norma-norma yang berlaku, teman seumuran akan memberikan reaksi yang memberikan pemahaman pada anak tersebut mengenai perilaku yang dianggap tidak benar. Dalam hal ini, teman seumuran menjadi agen sosialisasi yang efektif dan berguna dalam mengembangkan kepribadian, nilai budaya, serta meningkatkan pola interaksi yang sehat bagi individu tersebut.
Pola Sosialisasi Vertikal
Sosialisasi vertikal adalah proses pembelajaran norma-norma sosial yang dilakukan oleh individu dalam interaksi dengan kelompok sosial yang lebih tua seperti orang tua, guru, atasan, atau tokoh masyarakat. Dalam sosialisasi vertikal, individu mengalami pengarahan dan pembinaan dari pihak yang lebih tua atau lebih berpengalaman dalam memahami norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Anak-anak belajar dari orang tua dan guru, sementara karyawan belajar dari atasan atau manajer dalam organisasi kerja.
Sosialisasi vertikal merupakan media bagi individu untuk mempelajari nilai-nilai budaya dan mengkonsolidasikan identitas sosial mereka dalam struktur sosial yang lebih besar. Proses ini bersifat lebih formal karena individu mengalami pembelajaran dengan cara melakukan observasi dan meniru tingkah laku orang tua, guru, atau atasan sebagai contoh ketaatan pada norma sosial. Secara singkatnya, individu menerima pengetahuan kultural dan normatif melalui guru atau orang tua mereka untuk mempersiapkan mereka menjadi anggota masyarakat yang baik dengan memenuhi persyaratan yang ada dalam masyarakat tersebut.
Kesimpulan
Dalam pola sosialisasi sekunder, Gertrude Jaeger membaginya menjadi dua jenis, yaitu sosialisasi horizontal dan vertikal. Sosialisasi horizontal dilakukan melalui interaksi sosial yang bersifat simetris dengan kelompok sebaya atau teman seumuran sehingga individu belajar bagaimana bergaul dengan orang lain dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Sementara itu, sosialisasi vertikal dilakukan dengan interaksi sosial dalam struktur sosial yang lebih tinggi, yaitu dengan orang tua, guru, atasan, atau tokoh masyarakat yang lebih berpengalaman.
Dalam sosialisasi di dunia saat ini, kedua pola sosialisasi dapat berjalan secara terpisah atau dalam konteks yang sama. Misalnya, saat seseorang bergaul dengan teman seumurannya, mereka dapat memperoleh pengaruh dari penggunaan teknologi untuk berteman dan berinteraksi yang merupakan kategori sosialisasi horizontal dalam masyarakat saat ini. Seiring bertambahnya usia, individu akan mengalami pengaruh dari sosialisasi vertikal melalui kegiatan di sekolah, perguruan tinggi, atau dalam pekerjaannya.
Karakteristik Pola Sosialisasi Primer Menurut Gertrude Jaeger
Pola sosialisasi primer adalah proses persepsi dan pembentukan pola pengalaman serta kelakuan dalam kehidupan awal seseorang sebagai individu. Menurut Gertrude Jaeger dalam teorinya mengenai pola sosialisasi primer, terdapat dua jenis pola sosialisasi yang umum terjadi pada anak yaitu pola sosialisasi otokratis dan humanistik.
Pola Sosialisasi Otokratis
Pola sosialisasi otokratis adalah pola sosialisasi dimana orang tua atau keluarga lebih sangat menitikberatkan pada norma dan nilai yang berlaku pada keluarga atau masyarakat. Pada pola sosialisasi otokratis, orang tua atau keluarga akan memberikan pola asuh yang otoriter dan sering kali mengekang kebebasan anak. Anak diasuh untuk menjadi patuh dan menaati segala norma dan nilai yang ada, juga diwajibkan untuk mengikuti tradisi yang sudah lama berjalan.
Pada pola sosialisasi otokratis, anak akan merasa lebih rendah dari orang tua dan keluarga karena sifat otoriter dan kekuasaan yang dimiliki oleh orang tua atau keluarga. Anak yang tumbuh dengan pola sosialisasi otokratis cenderung memiliki kepribadian yang penurut dan menghindari tindakan yang berbau konflik. Hal ini berkaitan dengan karakter politik yang lebih cenderung otoritarian.
Pola Sosialisasi Humanistik
Pola sosialisasi humanistik adalah pola sosialisasi dimana orang tua atau keluarga lebih mengutamakan kepentingan anak sebagai individu sehingga membantu anak dalam mengembangkan kemampuan dan karakter yang positif. Pada pola sosialisasi humanistik, orang tua atau keluarga akan memikirkan bagaimana cara terbaik untuk anak dalam mencapai cita-cita, visi, dan misi agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang tangguh.
Pada pola sosialisasi humanistik, orang tua atau keluarga akan bersikap sangat mendukung dan tidak mengekang anak dalam meraih impian dan cita-cita. Orang tua atau keluarga akan membimbing anak untuk dapat mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki untuk mencapai masa depan yang lebih baik dan menjadi pribadi yang mandiri. Anak yang diasuh dengan pola sosialisasi humanistik ini cenderung memiliki karakter yang mandiri dan berinovasi serta lebih bersifat demokratis.
Perbedaan Karakteristik Pola Sosialisasi Primer
Perbedaan karakteristik pola sosialisasi otokratis dan humanistik dapat dilihat dari beberapa aspek kehidupan sehari-hari. Pertama adalah dalam penentuan atau pengambilan keputusan. Anak yang tumbuh dengan pola sosialisasi otokratis cenderung menyerah karena sudah terbiasa diputuskan oleh orang tua atau keluarga, sementara pada pola sosialisasi humanistik anak lebih bebas dalam memilih dan memutuskan sesuai kemampuan dan keinginan diri sendiri.
Kedua, dalam interaksi sosial anak yang tumbuh di bawah pola sosialisasi otokratis lebih cenderung pasif dan kurang mampu memanfaatkan kebebasan mereka. Sedangkan anak yang diasuh dengan pola sosialisasi humanistik cenderung lebih aktif dalam bersosialisasi dan memanfaatkan kebebasan yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan sosial.
Ketiga, dalam mengembangkan kreativitas, anak dengan pola sosialisasi humanistik cenderung lebih berkembang karena memiliki kebebasan yang lebih luas. Sedangkan anak dengan pola sosialisasi otokratis cenderung memiliki kreativitas yang kurang berkembang karena terlalu dipaksa untuk mentaati norma dan tradisi yang berlaku dalam keluarga.
Kesimpulannya, pola sosialisasi primer adalah kunci utama dalam membentuk kepribadian dan karakter seseorang. Orang tua atau keluarga sebagai pihak yang pertama kali memengaruhi anak harus mampu mengenali dan memilih pola sosialisasi yang tepat agar anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, memiliki karakter yang positif, dan mampu menentukan pilihannya sendiri. Diantara dua pola sosialisasi tersebut, pola sosialisasi humanistik era modern ini lebih banyak diterapkan karena lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan membuat anak lebih mampu bersikap bijaksana dan mandiri dalam mengambil keputusan.
Karakteristik Pola Sosialisasi Sekunder Menurut Gertrude Jaeger
Sosialisasi merupakan proses penting dalam kehidupan setiap individu untuk memahami dan mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat. Menurut Gertrude Jaeger, pakar sosiologi Jerman, sosialisasi dibagi menjadi dua pola, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi sekunder adalah proses sosialisasi yang terjadi setelah sosialisasi primer. Berikut adalah karakteristik dari pola sosialisasi sekunder menurut Gertrude Jaeger.
1. Prosesnya Berlangsung Secara Selektif
Sosialisasi sekunder tidak selalu berlangsung untuk semua individu di dalam masyarakat. Proses sosialisasi sekunder biasanya hanya berlangsung untuk orang-orang yang telah berhasil menyelesaikan proses sosialisasi primer. Individu yang telah mampu memahami nilai-nilai dan norma-norma masyarakat akan lebih mudah untuk dipengaruhi oleh proses sosialisasi sekunder daripada individu yang masih belum mengerti nilai dan norma masyarakat.
2. Terjadi Melalui Berbagai Institusi
Sosialisasi sekunder tidak hanya terjadi di dalam keluarga seperti proses sosialisasi primer. Proses sosialisasi sekunder terjadi melalui berbagai institusi seperti sekolah, tempat kerja, organisasi dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena individu telah menguasai nilai dan norma dasar masyarakat yang diperoleh melalui proses sosialisasi primer, sehingga individu lebih siap untuk menerima nilai-nilai baru melalui interaksi dengan institusi tersebut.
3. Meningkatkan Peran Individu di Masyarakat
Proses sosialisasi sekunder memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku individu di masyarakat dan meningkatkan peran individu dalam masyarakat. Proses sosialisasi sekunder memungkinkan individu untuk memahami nilai-nilai yang lebih kompleks dan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi sosial. Hal ini membuat individu mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dimana individu berada.
4. Terjadi Secara Tidak Langsung
Proses sosialisasi sekunder tidak terjadi dengan cara yang langsung seperti proses sosialisasi primer. Proses sosialisasi sekunder terjadi tidak hanya melalui interaksi lisan atau perseorangan saja, tetapi terjadi melalui media massa seperti televisi, internet dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan individu yang telah memahami nilai-nilai sosial yang mendasar tidak memerlukan interaksi langsung dalam proses sosialisasi.
5. Meningkatkan Kesadaran Politik
Proses sosialisasi sekunder memungkinkan individu untuk dapat memahami sistem politik dan peran individu dalam sistem politik. Dalam proses sosialisasi sekunder di dalam kelompok masyarakat, individu dipelajari mengenai tata cara berpolitik dan cara memengaruhi proses politik di dalam masyarakat. Kesadaran akan pentingnya peran politik di dalam masyarakat menjadi meningkat melalui proses sosialisasi sekunder.
Dari karakteristik pola sosialisasi sekunder menurut Gertrude Jaeger tersebut, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi sekunder merupakan proses sosialisasi yang terjadi setelah individu berhasil menyelesaikan proses sosialisasi primer. Masyarakat merupakan institusi sosialisasi utama yang dapat membentuk karakteristik individu. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai karakteristik pola sosialisasi sekunder menjadi penting bagi individu untuk dapat berperan aktif dalam masyarakat.