Not Angka Lagu Hidup Ini Adalah Kesempatan

3 min read

Not Angka Lagu Hidup Ini Adalah Kesempatan – Pelopor Kolintang di Pulau Jawa, Peter Kaseke meninggal dunia dan dimakamkan pada 17 Agustus 2022 di Bangan Salatiga. Dia meninggal delapan puluh tahun kemudian sambil mengucapkan selamat tinggal: “Ini dia, saya ingin istirahat.” Di RSUD Talogorejo Semarang.

Artikel ini mengenang almarhum sebagai guru musik, pemimpin paduan suara dan pejuang kolintang yang terus berkarya hingga akhir hayatnya. Sebagai orang yang tinggal bersamanya sejak kecil, saya memang mendapat banyak kenangan dan hikmah dari keteladanannya. Bagi Peter Kaseke adalah guru dan orang tua saya.

Not Angka Lagu Hidup Ini Adalah Kesempatan

Peter Kaseke lahir pada tanggal 2 Oktober 1942 di Minahasa, Sulawesi Utara. Masa kecil Peter Kaseke sangat terkait dengan musik dan lagu karena orang tuanya, Johannes Kaseke, adalah pendeta di gereja Pantekosta.

Underprivileged Gen Z Pesisir Dadap: Berpikir Kritis Agar Kampung Tak Terkikis Rob Dan Kawasan Elite

Meski berasal dari keluarga bangsawan, namun ia tidak bangga karena kakek buyutnya Peter Kasek menikah dengan putri Raja Ratahan Dotu Maringka. Yang paling dibanggakan dari semuanya adalah kakeknya, seorang tukang kayu, yang mengabadikan putra sulungnya, Lufrend Kaseke. Sementara itu, nama mendiang ibunya Adeline Komlig disebut-sebut sebagai nama anak bungsu Adeline Kaseke.

Peter Kaseke adalah seorang pendatang Minahasa yang sangat mencintai budaya negaranya. Darah Minahasanya seolah terhenti di Kota Salatiga. Angka tiga dan kelipatannya merupakan angka favorit kasta Minahasa sejak dahulu kala. Kebetulan kata Salatiga berasal dari Sela Tiga yang berarti tiga batu. Tiga dan kelipatannya digunakan untuk menjelaskan colintang. Tangga nada Kolintang yang aslinya diciptakan oleh almarhum terdiri dari 9 nada, seperti tangga nada diatonis (7 nada) dan nada Bb (dulcimer menurut kata-katanya) dan nada F# (a crus).

Semasa hidupnya, Anglang hanya berjualan kolintang, pada saat alat musik sedang banyak peminatnya dan pada saat resesi dan pesanan sedikit.

Dari segi Anglang, meski merupakan alat musik tradisional Jawa, namun Peter Kaseke Minahasan memberikan sentuhannya. Akord angklung yang dikembangkan oleh Peter Kaseke terlihat dari susunan tiga pipa yang menempatkan nada dasar di antara dua pipa lainnya, yang dikenal dengan akord diagonal kedua, misalnya akord C dengan formasi nada 5-1-3. Catatan mendasar di tengah, Minahasa mengikuti konsep patriarki Toar, yang berasal dari kata Tur atau akar kata utama yang merupakan pusat keseimbangan.

Faishal Tanjung: Cfo By Day, Musician At Heart

Di akhir hayatnya, almarhum masih aktif bermain kolintang bahkan mengikuti lomba kolintang secara virtual bersama cucu-cucunya, kegiatan yang biasa dilakukan di masa pandemi Covid.

Peter Kaseke adalah seniman Kolintang yang produksinya menjangkau nusantara dan dunia. Tak heran jika Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberikan piagam penghargaan atas inisiasi dan tokoh perkembangan musik Kolintang di Pulau Jawa.

Peter Kasek telah meninggalkan kita. Saya bersyukur mendapat kesempatan belajar dari almarhum sekaligus menulis buku unik tentang Kolintang Minahasa ini.

Salah satu sumber yang dijadikan acuan materi adalah karema, yaitu lagu adat Minahasa yang diambil dari upacara walian (pendeta wanita). Kutipan puitis dari buku “Uit Onze Kuncien” karya H.Van Kol. Pada tahun 1903 diterbitkan dalam bahasa Tombulu “De Zhang Wan Karema” tentang asal usul Lumimut:

Bercakap Bersama Iwan Fals: Pelajaran Hidup

Dari puisi kesebelas, ayah Lumimut dipanggil Kawengian yang artinya ‘bintang senja’, sehingga mendukung anggapan bahwa Minahasa adalah mitos leluhur yang berkaitan dengan astronomi kuno. Tata surya berputar di sekitar Thor, avatar matahari, dan Lumimut, avatar bumi.

Bagi yang tertarik dengan Neraca Universitas versi Minahasa dapat membaca buku Maimo Kumolintang Harmoni Semesta karya Peter Kaseke (kolintang.co.id).

Sekarang tempat lahirnya Lumimut berada di antara dua bukit yang terang benderang dan bersinar, tempat itu tampak seperti awan berkabut, dan warnanya seperti pelangi.

Para antropolog menyebutkan bahwa nenek moyang orang Minahasa berasal dari wilayah Mongolia utara, karena beberapa alasan yang didukung oleh hasil penelitian. Hasil yang paling penting dalam hal ini adalah kesamaan prototipe antara Tartar dan Minahasa, dengan warna kulit zaitun, bahu kuat, mata agak sipit dan banyak bagian tubuh yang mirip, serta hal-hal yang menguatkan penelitian ini, yaitu sejarah. Migrasi orang Mongolia bergantung pada kondisi lokal dan oseanografi. Legenda Toar Lumimut sering dikaitkan dengan tanah asli masyarakat Minahasa. Nama Tor dan Lumimut konon merujuk pada bahasa dan nama Mongolia.

Penyalahgunaan Narkoba Pada Remaja

Besar! Dengan majunya teknologi kini semakin mudah dicari melalui internet, sehingga situs ini benar-benar ada, bukan hasil publikasi fotografer, fotografer Svetlana Kazina dari Altai (Mongolia) pun mampir ke Instagram @kolintang.

Sam Ratu Langi adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang terkenal dengan filosofinya: “Sitou Timou Tumou Tu” Filosofi ini biasanya dijelaskan dalam kalimat yang artinya: Orang hanya bisa dipanggil jika mampu memanusiakan manusia. Humanis Jesse Venas (almarhum) memberikan penjelasan lebih detail mengenai filosofi Tombulu dengan menggunakan kata-kata dalam bahasa Tombulu. Saya mencoba menjelaskannya dalam versi sederhana dengan perbandingan bahasa daerah lainnya.

Ternyata kata tersebut juga menyebar ke Sulawesi Selatan, misalnya Toraja yang berarti “orang yang tinggal di dataran tinggi”. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja.

Daku yang dari bahasa Sunda berarti bergantung dan contoh lainnya berasal dari kata Bali tumurun yang berarti avatar.

Beragam Pertunjukan Semarakkan Imlek Di Tanjungpinang

Dua kata terakhir dari falsafah Sam Ratulangi, “tumou” dan “tau” biasanya merupakan ungkapan ulang dari “tumoutau” dalam bahasa Tombulu yang berarti berkembang, bertumbuh.

Kata tersebut terdapat dalam lagu Karema yang menceritakan asal usul suku Minahasa, dalam puisi Lumimut mereka diberi biji-bijian yang sedang tumbuh (tumoutou).

Oleh karena itu filosofinya pada mulanya berbunyi “sitou timou tumotou”, yaitu seseorang (sitou), lahir/hidup (timou), hendaknya hidup dan berkembang (tumoutou).

Ironisnya, pada masyarakat Minahasa zaman dulu, agar masyarakatnya bisa hidup sejahtera, mereka harus mengorbankan nyawa orang lain karena adat yang sangat besar itu.

Danramil 1421 01/balocci, Kodim 1421/pangkep, Korem 141/toddopuli, Hadiri Kegiatan Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (dpshp) Pemilu 2024 Kecamatan Balocci

Saat itu, untuk membangun rumah baru, upacara pokoknya adalah penanaman tiang yang memerlukan pengorbanan kepala manusia. Selain itu, jika pemimpin suku Minahasa meninggal, maka kepala pengiringnya harus dikorbankan untuk menuju kehancuran bersama angkutannya.

Jika ada varuga kecil di dekat varuga besar, maka varuga yang lebih kecil adalah tempat pemakaman kepala pelayan.

Bukannya mengorbankan kepala manusia untuk pembangunan rumah baru dan ritual kematian pemimpin Minahasa, ia malah memotong kepala babi.

Coba bayangkan pemimpin Minahasa berjalan menuju kehancuran bersama pasangannya, apakah “kaget?”

Docx) Lirik Lagu Band

Pantangan-pantangan kolonial Belanda sedikit demi sedikit terkikis dengan adanya pembatasan dan pengamatan terhadap kebiasaan mumi, namun pengajaran yang paling efektif adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat Minahasa.

Sam Ratulangi melakukan gebrakan kreatif dengan membagi kata “tumautau” menjadi dua bagian menjadi “tumau” dan “tau” untuk praktek pemenggalan kepala.

Jadi maknanya sederhana “sitau timau tumau tau”, manusia dilahirkan untuk hidup sejahtera bagi orang lain.

Diagnosa Digigit Anjing

admin
5 min read

Koreng Anjing

admin
3 min read