Pribumi Dan Anjing Dilarang Masuk

5 min read

Pribumi Dan Anjing Dilarang Masuk – Verboden Toegang voor Honden en Inlander, ungkapan ini diterapkan pada cekungan Hindia Belanda pada masa kolonial. Jika benar kita diibaratkan anjing, tidak berlebihan. Hai! Faktanya, kehormatan para artis rendah. Kemiripan dengan anjing bukan hanya karena kita kolonial. Bukan karena kita berperang dengan panah dan tombak melawan Belanda yang membeli senjatanya. Tapi karena dulu Belanda menganggap kami naif dan terbelakang. Ya, makanan!! Bodoh karena mengira bangsa-bangsa di negeri ini tidak mampu memimpin rakyatnya sendiri. Jadi kita butuh bangsa Belanda untuk terus memimpin kita. Kita membutuhkan ayah, guru, dan pemimpin, katanya. Ia beranggapan bahwa masyarakat tanah air tidak bisa membangun bioskop, rumah, bank, pabrik, perkantoran, dan lain-lain. Dari sana, kolonialisme mencapai tingkat martabat manusia yang tertinggi. Ini bukan dominasi negara dan wilayahnya, bukan sekedar eksploitasi kekayaan. Tapi kolonisasi karakternya. Apa jadinya jika suatu bangsa kehilangan jiwa, semangat, dan karakternya, tak ada daya cipta, rasa, dan tujuan yang tersisa di otaknya kecuali kekuatan. Dalam keadaan seperti itu, bangsa Indonesia menjadi alat yang menjadi hiasan gemilang kekuasaan kolonial. Mereka ibarat tumpukan batu dan tanah di pinggir jalan. Itu orang Indonesia asli!!

Memasuki peringatan 60 tahun kemerdekaan Indonesia, arsip teks tersebut sudah tidak ada lagi di pulau tersebut.

Pribumi Dan Anjing Dilarang Masuk

Namun, pesan dan semangat tulisannya tetap bergema. Pesannya, jika negara ini ragu akan kemampuannya dalam menguasai negara. Jika negara ini terbelakang, bodoh, bodoh, korup dan segala jenis keterbelakangan lainnya yang bisa Anda pikirkan. Kemiskinan masih tinggi, korupsi merajalela, harga-harga naik, sulitnya pendidikan berkualitas, dll. Saya tidak ingin mengatakan bahwa kehancuran negara ini dimulai dan diakhiri dengan keruntuhan mental. Jangan kita tutup mata, jangan keraskan hati untuk mengatakan ada yang salah dengan orang Indonesia ini. Jika negara terbelakang diibaratkan sebagai negeri yang kering, tandus, tanpa segala sarana dan prasarana, jangan salah kaprah. Pendukung adalah manusia, manusia, manusia! Bukan karena politisinya, bukan karena anggota DPRnya, tapi karena dia punya pandangan kebelakang. Politisi kita terbelakang, bukan karena buta huruf. Bukan karena mereka baru tamat SMA. Namun ada semangat patriotisme dan patriotisme yang terhenti di hati mereka. Jangan lupa karena kesombongan dan rasa percaya diri. Mereka masih percaya bahwa mereka masih punya hak untuk memerintah. Kami tetap yakin negara ini tidak akan gagal, negara ini kaya, negara ini hebat dan indah. Seperti yang dikatakan kepala pemerintahan dalam sebuah program televisi khusus yang membuat penulis terkesan, “negara ini terlalu kaya untuk gagal”. Ya! Memang benar negara ini begitu kaya sehingga akan runtuh jika dikatakan 50 tahun yang lalu. Saat itu modal (capital) belum tersebar dimana-mana, belum ada internet, globalisasi dan perdagangan bebas. Meskipun tidak mungkin negara ini gagal, masyarakat gagal, masyarakat adalah manusia.

Agama: Pedang Bermata Dua Dalam Sistem Pendudukan Di Tanah Papua

Pemuda kembali ke masa sebelum kemerdekaan. Di masa lalu, diskriminasi ini telah membuat marah banyak anak muda Indonesia. Sungguh mengejutkan hati dan hati nurani mereka bahwa mereka seperti orang Belanda. Kepedulian terhadap gagasan keadilan membuat mereka bertahan kuat melawan kekuasaan kolonial. Beberapa nama mereka masih harum sampai saat ini……. Ki Hajar Dewantara masih berusia 19 tahun ketika bekerja keras di bidang media Boedi Oetomo. Tulisan-tulisannya menyadarkan masyarakat Indonesia akan pentingnya hidup berbangsa. Dr. Cipto Mangunkusumo baru berusia 26 tahun ketika mendirikan Indische Partij, saat pertama kali mengkritik pemerintah Belanda di media. Jenderal Sudirman berusia 29 tahun saat terpilih menjadi presiden hingga meninggal dunia di usia muda, 34 tahun. H. Agus Salim masih berusia tiga puluh satu tahun ketika bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi pemimpin kedua setelah Cokroaminoto. Ada pula W. R. Supratman yang baru berusia 21 tahun saat menulis lagu Indonesia Raya. Dan nama-nama lain yang tidak disebutkan di sini. Masa sulit pemerintah kolonial saat itu melatih mereka… para pemuda saat itu. Jika perang adalah pendidikan, jika kolonialisme adalah pendidikan, maka ia menjadi mawar membara yang menghasilkan banyak mutiara.

Tampaknya sekarang kita akan melihat anak-anak muda seperti itu. Sulit menemukan generasi muda di kampus yang kerap bermasalah hati nuraninya. Atau kita sulit membedakan pajangan siswa yang kini dikatakan sudah tidak bersih lagi. Sekarang, Anda hanya akan melihat patriotisme dan patriotisme dengan pengibaran spanduk ini. Patriotisme kini seolah hanya tinggal ilusi, ibarat setetes embun pagi di dedaunan teras depan rumah.

Jadi… mungkin sudah terlambat untuk membicarakan patriotisme. Matahari pagi belum terbenam. Era globalisasi datang dengan datangnya pengaruh budaya yang kuat dari Barat. Sungguh menakjubkan betapa cepatnya pertunjukan kustom ini! Musik Rock’n Roll, fashion, Hollywood dan MTV telah memenuhi kepala anak muda ini. Bukan karena dia anti-Barat dan konservatif… tapi sayangnya, kami, kaum muda, lebih Amerika daripada Amerika sendiri. Dengarkan musik populer dan rasakan seperti berada di New York meskipun berada di luar negeri. Mereka tidak tahu bahwa mereka berasal dari negara kecil yang terbelakang. Jika mereka mengetahui sejarah, pasti ada kesedihan yang nyata di hati mereka. Bagi kelompok generasi muda ini, mereka berasal dari keluarga mampu, mengenyam pendidikan tinggi, bahkan merantau ke luar negeri. Karena mereka kurang memahami negaranya, sepertinya mereka tidak memahami siapa dirinya, dari mana asalnya. Anda tidak akan menemukan wajah asli Indonesia di apartemen mewah di kawasan Kuningan dan Sudirman di Jakarta. Atau hotel mewah, diskotik, pusat perbelanjaan yang sering menjadi perhentian orang kaya. Indonesia adalah Aceh yang dilanda hujan lebat, Nias, Ambon yang menjadi lokasi perang saudara belakangan ini, dan Indonesia adalah Papua yang terus berkembang.

Ada juga sekelompok anak muda yang tidak punya apa-apa. Karena depresi dan pikiran negatif, proses waktu membuat orang depresi. Karena posisinya yang lemah, mereka mudah diakses oleh ide-ide sayap kiri dan berbagai ide palsu; ajaran agama, pemukulan dan kerusuhan. Mereka tidak tertarik pada pemerintah. Karena mereka sering menjadi sesuatu dalam pemilu atau dalam rencana pergantian kekuasaan.

Kompas 11 Februari 2023

Lemahnya pemerintahan masih segar dalam ingatan kita akan apa yang terjadi pada WTC tahun 1999 di Amerika. Osama Bin Laden, seorang terduga teroris, kemudian menjadi selebriti di Indonesia. Wajahnya ditampilkan di berbagai poster, spanduk, kaos, ucapan selamat dan dipuja sebagai dewa. Ini adalah simbol perlawanan terhadap penindasan. Yang ada hanyalah hati nurani generasi muda saat itu sebagai pejuang melawan kekuatan jahat. Meski orang Indonesia belum pernah bertemu dengannya, ia mendapat simpati karena ia adalah sumber inspirasi. Seperti kisah Nabi Daud melawan Goliat.

Perilaku Osama Bin Laden memberi kita bukti bahwa tidak ada pemimpin di negara ini. Itu menunjukkan betapa anak-anak ini sangat mencintai orang asing untuk menjadi pahlawan mereka. Ia bukan pemimpin, panutan, atau tokoh penyembah berhala. Kepemimpinan bukanlah jabatan Presiden atau jabatan Menteri. Para pemimpin yang baik ada di sekitar kita dan orang-orang mengenali mereka ketika mereka melihatnya. Seorang pengamat sejarah pernah mengatakan mengapa Raja Roma, Julius Caesar, selalu menang dalam pertempuran. Bukan karena pedangnya yang kuat, bukan karena prajuritnya atau kekuatannya. Bukan karena mitos bahwa ia adalah berhala. Tidak ada alasan untuk memimpinnya. Kecuali bahwa dia juga mempertaruhkan nyawanya dan tentaranya dengan pedangnya. Ini tidak seperti seorang raja yang duduk di meja besar membuat rencana. Pada suatu saat, dia dikatakan menawarkan tendanya untuk beristirahat sambil merawat tentaranya yang terluka. Saat itu, mata dunia mati karena kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Dia terkejut karena dia tidak tahu seberapa baik perilaku dan kesetiaan prajuritnya kepadanya. Bukan hanya para bawahannya saja, namun mereka juga sangat mencintai sang raja.

Negara ini punya kecintaan terhadap pemimpin seperti ini pada masa penjajahan. Sejarah mencatat sumbangan sukarela masyarakat Aceh kepada NKRI berupa uang, koin emas dan harta benda untuk pembelian dua buah pesawat terbang Seulawah RI. Pemberian ini diberikan secara sukarela, sebagai tanda betapa besarnya semangat masyarakat saat itu. Cinta ada karena adanya keteladanan, keteladanan, kedekatan dan kepercayaan. Kepercayaan pada otoritas tidak akan membawa mereka pada gagasan yang salah. Percayalah perjuangan mereka akan mengubah keadaan anak cucu mereka di masa depan. Percayalah, jika ada darah yang tertumpah dan nyawa melayang, itu lebih baik daripada hidup di bawah kekuasaan kolonial. Tiada lain yang menjadi sumber utama perjuangan rakyat di seluruh dunia kecuali tekad baja, hati dan pikiran seorang pemimpin yang mampu menginspirasi rakyat, rakyat, rakyat! Itu sangat menyakitinya. Yang tidak berasal dari kekuasaan pemerintah saja.

“Visi keindahan dan keindahan, Bentuk ras yang telah lama hilang, suara dan wajah dan suara, Dari ruang dimensi keempat – Dan melintasi langit tanpa batas, pikiran kita bersinar – Ada yang menyebutnya mimpi dan lain-lain. Tuhan. “Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali menjadi sorotan publik usai pidato pertamanya di Balaikota (16/10) yang menyebut warga sebagai penindas. “Dulu rakyat kita semua tertindas dan tertindas. Sekarang kita sudah bebas, sekarang saatnya kita menjadi tuan bagi negara kita. Jangan sampai Jakarta seperti yang dikatakan orang Madura,

Memahami Risalah Cempaka Wiraga

Kata ini seolah mengingatkan kita pada tahun 1997-1998, ketika terjadi kerusuhan dan penjarahan, banyak dinding atau jendela toko, kantor bahkan hotel yang bertuliskan “Negara Pemilik” untuk menghindari penjarahan.

Permasalahan lokal dan non-lokal

Diagnosa Digigit Anjing

admin
5 min read

Koreng Anjing

admin
3 min read